DESAIN OPERASIONAL PENELITIAN
TAHUN ANGGARAN 2012
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERSAHABAT/KOMUNIKATIF
MELALUI MODELGROUP INVESTIGATION MAPEL IPS
KABUPATEN BLITAR
Peneliti :
Dr. H. M. ZAINUDDIN, M.Pd
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRASEKOLAH
PROGRAM STUDI PGSD
AGUSTUS 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan
mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan
generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata
pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui
mata pelajaran IPS, siswa diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia
yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai
(BSNP, 2007).
Mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial
masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Serta
pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio kultural, bahasa, usia dan
suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter
yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan terhadap proses
pembelajaran IPS yang berlangsung di SDN Kabupaten Blitar mengalami beberapa
permasalahan, di antaranya: (1) mata pelajaran IPS disajikan oleh guru sebagai
mata pelajaran yang tidak menarik, karena pembelajaran berpusat pada guru, (2)
siswa kurang diberi kesempatan dalam mengembangkan ide dan pikirannya sehingga
pembelajaran tidak bermakna bagi siswa, (3) siswa merasa bosan dengan apa yang
dipelajari karena siswa hanya menghafalkan konsep-konsep yang disampaikan dalam
pembelajaran, (4) konsep-konsep yang disampaikan kepada siswa diberikan
terpisah-pisah, (5) siswa mudah lupa apa yang sudah diingat sebelumnya karena
pembelajaran terbatas pada kegiatan membaca buku atau mendengar penjelasan, dan
(6) rendahnya hasil belajar IPS dengan nilai di bawah Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM).
Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan sebuah
pembelajaran yang dilaksanakan dalam konteks otentik, memberikan kesempatan
pada siswa untuk mengerjakan tugas bermakna, memberikan pengalaman bermakna,
dilaksanakan melalui kerja kelompok, mengutamakan kebersamaan, dan dilaksanakan
secara menyenangkan. Salah satu model pembelajaran yang memiliki karakteristik
tersebut di atas adalah Model
Group Investigation (GI).
BERDASARKAN
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka
secara umum dirumuskan permasalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah
pembentukan karakter Komunikatif/Bersahabat
melalui penerapan model Gorup Investigation materi pokok kenampakan
keragaman lingkungan alam dan buatan pada siswa kelas tinggi SDN Jinglong 01 Kabupaten Blitar?
2.
Apakah
hasil penerapan model pembelajaran inkuri dapat membentuk karakter Komunikatif/Bersahabat siswa kelas tinggi SDN Jinglong 01 Kabupaten Blitar?
C. FOKUS
PENELITIAN
Penelitian
ini bertujuan memperoleh deskripsi tentang (1) identifikasi model Group Investigation dalam mengembangkan
karakter komunikatif/ bersahabat untuk pengembangan
pembelajaran IPS yang diharapkan dalam:
(a) berfikir kritis,
rasional dan kritis dalam menanggapi isu global;
(b) berpartisipasi
secara cerdas dan bertanggung jawab serta bertindak secara sadar dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (c) pembentukan diri yang didasarkan
pada karakter-karakter positif masyarakat Indonesia dunia yang demokratis. (2)
Kondisi model pembelajaran yang diterapkan oleh guru SD; (3) Model pembelajaran
IPS yang selama ini digunakan oleh guru SD dalam rangka pencapaian kompetensi
IPS yang diterapkan dalam sehari-hari.
Deskripsi tentang ”Pengembangan Model Pembelajaran IPS
SD yang diterapkan sehari-hari, terlihat
pada produk berupa macam-macam model pembelajaran yang diterapkan oleh guru SD,
juga terlihat pada profil pembelajaran IPS yang diterapkan guru SD mulai dari
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, sampai pada penilaian
pembelajarannya. Profil perencanaan pembelajaran diperoleh dari Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang disusun oleh guru; Profil pelaksanaan pembelajaran diperoleh dari kinerja
guru dalam melaksanakan pembelajaran dikelas; Profil penilaian yang diperoleh
dari alat penilaian yang dikembangkan guru untuk menilai keberhasilan
pembelajaran dan pelaksanaannya.
Deskripsi
“Model Pembelajaran IPS yang selama ini digunakan oleh guru SD dalam rangka
pencapaian kompetensi bersikap dan
berperilaku sesuai dengan nilai dan norma dalam lingkungan masyarakatnya” terletak pada metode pembelajaran IPS apa
saja yang selama ini dirancang,
digunakan guru terkait dengan pembelajaran IPS dan bagaimana penerapannya dalam
pembelajarannya.
Capaian
hasil penelitian ini dipakai sebagai dasar pengembangan produk yang berupa macam-macam model yang dipakai dalam
pembelajaran IPS anak usia Sekolah Dasar dalam berinteraksi dengan masyarakat
lingkungannya, bisa dipakai dan dimanfaatkan oleh guru/penulis buku pelajaran
ketika menyusun materi pelajaran pada anak usia Sekolah Dasar.
D. URGENSI PENELITIAN
Penelitian ini dirancang, yang selanjutnya perlu segera
dilaksanakan secara profesional setelah mempertimbangkan hal-hal berikut.
Salah satu model pembelajaran yang
mendukung keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar adalah model pembelajaran
GI (Krismanto, 2003:6).
Sudjana (Mudrika, 2007:15) mengemukakan bahwa GI dikembangkan oleh Herbert Thelen sebagai upaya untuk mengkombinasikan strategi mengajar yang berorientasi pada pengembangan proses pengkajian akademis. Kemudian Joyce dan Weil (1980:230) menambahkan bahwa model pembelajaran GI yang dikembangkan oleh Thelen yang bertolak dari pandangan John Dewey dan Michaelis yang memberikan pernyataan bahwa pendidikan dalam masyarakat demokrasi seyogyanya mengajarkan demokrasi langsung. Selanjutnya Aisyah (2006:15) mengutarakan bahwa model pembelajaran GI kemudian dikembangkan oleh Sharan dan sharen pada tahun 1970 di Israel. Sementara itu Tsoi, Goh, dan Chia (Aisyah, 2006:11) menambahkan bahwa model pembelajaran GI secara filosofis beranjak dari faradigma konstruktivis. Dimana belajar menurut pandangan konstruktivis merupakan hasil konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Pandangan penekanan bahwa pengetahuan kita adalah hasil pembentukan kita sendiri (Suparno, dalam Trianto, 2007:28).
Sudjana (Mudrika, 2007:15) mengemukakan bahwa GI dikembangkan oleh Herbert Thelen sebagai upaya untuk mengkombinasikan strategi mengajar yang berorientasi pada pengembangan proses pengkajian akademis. Kemudian Joyce dan Weil (1980:230) menambahkan bahwa model pembelajaran GI yang dikembangkan oleh Thelen yang bertolak dari pandangan John Dewey dan Michaelis yang memberikan pernyataan bahwa pendidikan dalam masyarakat demokrasi seyogyanya mengajarkan demokrasi langsung. Selanjutnya Aisyah (2006:15) mengutarakan bahwa model pembelajaran GI kemudian dikembangkan oleh Sharan dan sharen pada tahun 1970 di Israel. Sementara itu Tsoi, Goh, dan Chia (Aisyah, 2006:11) menambahkan bahwa model pembelajaran GI secara filosofis beranjak dari faradigma konstruktivis. Dimana belajar menurut pandangan konstruktivis merupakan hasil konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Pandangan penekanan bahwa pengetahuan kita adalah hasil pembentukan kita sendiri (Suparno, dalam Trianto, 2007:28).
Menurut Anwar (Aisyah, 2006:14) secara harfiah investigasi diartikan
sebagai penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta-fakta, melakukan
peninjauan dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang
suatu peristiwa atau sifat.Selanjutnya Krismanto (2003:7) mendefinisikan
investigasi atau penyelidikan sebagai kegiatan pembelajaran yang memberikan
kemungkinan siswa untuk mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan
dan hasil yang benar sesuai pengembangan yang dilalui siswa.
Height (Krismanto, 2003:7) menyatakan to investigation berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Dengan demikian akan dapat dibiasakan untuk lebih mengembangkan rasa ingin tahu. Hal ini akan membuat siswa untuk lebih aktif berpikir dan mencetuskan ide-ide atau gagasan, serta dapat menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusinya di kelas.
Height (Krismanto, 2003:7) menyatakan to investigation berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Dengan demikian akan dapat dibiasakan untuk lebih mengembangkan rasa ingin tahu. Hal ini akan membuat siswa untuk lebih aktif berpikir dan mencetuskan ide-ide atau gagasan, serta dapat menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusinya di kelas.
Model investigasi kelompok merupakan model pembelajaran yang melatih para
siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial dan melalui pengalaman,
secara bertahap belajar bagaimana menerapkan metode ilmiah untuk meningkatkan
kualitas masyarakat.model ini merupakan bentuk pembelajaran yang
mengkombinasikan dinamika proses demokrasi dengan proses inquiry akademik.
melalui negosiasi siswa-siswa belajar pengetahuan akademik dan mereka terlibat
dalam pemecahan masalah sosial. dengan demikian kelas harus menjadi sebuah
miniatur demokrasi yang menghadapi masalah-masalah dan melalui pemecahan
masalah, memperoleh pengetahuan dan menjadi sebuah kelompok sosial yang lebih
efektif.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
PENDIDIKAN KARAKTER
1.
Pendidikan
Karakter di Sekolah Dasar
Sesuai dengan taksonomi bloom bahwa ada 3 aspek dominan
yang harus dikembangkan dalam diri setiap individu yaitu kognitif, afektif dan
psikomotorik. Pendidikan karakter akan mengenalkan individu kepada nilai-nilai
serta norma kedalam wilayah kognitif. Kemudian nilai-nilai serta norma tersebut
secara bertahap akan diarahkan untuk dihayati dan diresapi kedalam wilayah
afektif siswa. Sedangkan di dalam pengejawantahan di dalam pribadi siswa,
disetiap harinya siswa akan menerapkan di dalam masyarakat dimana siswa mampu
berinteraksi dan bersosialisasi secara langsung. Proses kontak serta interaksi
inilah yang akan menuntun aspek psikomotorik siswa untuk menerapkan nilai yang
telah difahami dalam wilayah kognitif dan afektif.
Di dalam
mendedikasikan pendidikan karakter ini diperlukan suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter yang meliputi komponen-komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai luhur baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain. Dalam pendidikan karakter di sekolah
perlu dilibatkan semua komponan stakeholders, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, seperti kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan sekolah, serta ethos kerja seluruh lingkungan
sekolah.
Melalui pendidikan
karakter anak akan terlatih untuk bersikap mandiri. Kemandirian anak di sekolah
dapat ditunjukkan melelui sikap anak untuk berusaha dalam mengerjakan suatu
pekerjaan yang baik dan benar sesuai dengan kapasitas yang ada dalam dirinya.
Kemampuan berusaha yang dimaksudkan adalah perolehan kemampuan yang mencakup
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang direfkleksikan dengan adanya nilai
tambah dari keadaan sebelumnya. Latar belakang perolehan kemampuan berusaha
adalah sebagai upaya belajar yang dilakukan pada waktu sebelum menjadi warga
belajar yang melakukan usaha sendiri. Di samping itu faktor pengalaman dalam
pekerjaan akan sangat berperan dalam melaksanakan suatu pekerjaan, sebab
pengalaman itu sendiri.
Tujuan pendidikan adalah
untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek
dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Menurut Foerster (dalam Zainuddin, 2010), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang
pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang
selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi
diukur.
Empat ciri dasar
pendidikan karakter menurut Forester (dalam Zainuddin, 2010), adalah
sebagai berikut.
a.
Keteraturan
interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi
pedoman normatif setiap tindakan.
b.
Koherensi
yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah
terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar
yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi
meruntuhkan kredibilitas seseorang.
c.
Otonomi.
Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi
pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa
terpengaruh atau desakan pihak lain.
d.
Keteguhan
dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa
yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
Keempat karakter
tersebut yang akan menentukan kepribadian seseorang untuk diwujudkan dalam
tindakannya sehari – hari. Melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan
dirinya pada dunia nilai .Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan
sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis
merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan
sejarah. Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan
merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus Pendidikan karakter masih
memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih
karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Ada banyak
kualitas karakter yang harus dikembangkan, namun untuk memudahkan pelaksanaan,
IHF mengembangkan konsep pendidikan 9 pilar karakter yang merupakan nilai-nilai
luhur universal (lintas agama, budaya dan suku). Ada pun nilai-nilai 9 (Zainuddin, 2010), pilar karakter terdiri dari:
a.
Cinta
Tuhan dan alam semesta beserta isinya
b.
Tanggung
jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian
c.
Kejujuran
d.
Hormat
dan Santun
e.
Kasih
Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama
f.
Percaya
Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah
g.
Keadilan
dan Kepemimpinan
h.
Baik
dan Rendah Hati
i.
Toleransi,
Cinta Damai, dan Persatuan
2.
Faktor – faktor pendukung pendidikan karakter
a.
Karakter guru
Seorang guru
selain mempunyai kompetensi pedagogis sebagai basic pengajar, guru harus
mempunyai beberapa kompetensi utama dalam melakukan proses pembelajaran
pendidikan karakter.
1)
Kompetensi
kepribadian, menjadi guru yang berkepribadian baik, santun, serta mengembangkan
sifat terpuji sebagai seoarang guru. Pendidikan karakter membutuhkan guru yang
dapat memberikan nilai yang dapat langsung dicontoh oleh siswa.
2)
Kompetensi
berinteraksi dan berkomunikasi. Guru berhasil membangun hubungan yang baik
dengan siswa tanpa menghilangkan sopan santun antara guru dan murid. Sudah
menjadi kewajiban guru untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan siswanya.
Melakukan pendekatan yang persuasif untuk meningkatkan motivasi dalam belajar.
b.
Tersedianya
alat bantu mengajar berbasis karakter
Selain training yang diberikan, para guru juga harus
dibekali alat bantu mengajar, seperti modul, kurikulum, lesson plan, permainan
edukatif, dan buku-buku cerita. Tanpa alat bantu ini, akan sulit bagi guru
untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya. Ada pun
salah satu alat bantu
mengajar yang diperlukan adalah :
1)
Modul
9 Pilar Karakter
2)
Daily
Lesson Plan untuk 9 Pilar Karakter
3)
Modul
KTSP Pendidikan Holistik Berbasis Karakter berdasarkan Tema
4)
Daily
Lesson Plan untuk Pembelajaran Sentra
5)
Paket
Buku 9 Pilar Karakter untuk aktivitas murid (10 buku)
6)
Buku-buku
cerita membentuk 9 Pilar Karakter (125 buku)
7)
Buku-buku
text Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
8)
Paket
Perlengkapan Sentra dan Permainan Edukatif (70 jenis)
9)
Paket
lagu-lagu 9 Pilar Karakter (60 lagu)
10) Paket CD Pembentukan Moral
c.
Kurikulum
dan modul yang berbasis karakter
Kurikulum disusun berdasarkan prinsip keterkaitan antar
materi pembelajaran, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi,
keterampilan, dengan menampilkan tematema yang menarik dan kontekstual.
Kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial,
pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi
motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang
melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (Holistik).
Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat
menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian
secara autentik dan alamiah.Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini
akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang
akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam
kurikulum.
d.
Lingkungan yang kondusif
Lingkungan yang
nyaman dan menyenangkan adalah mutlak diciptakan agar karakter anak dapat
dibentuk. Hal ini erat kaitannya dengan pembentukan emosi positif anak, dan
selanjutnya dapat mendukung proses pembentukan empati, cinta, dan akhirnya
nurani/batin anak. Sesuai dengan prinsip brain-based learning (pendidikan
ramah otak), suasana yang menyenangkan akan merangsang otak membuat kerja
bagian otak korteks menjadi optimal. Sebaliknya, ketika suasana belajar penuh
beban, ketakutan dan stress, tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon stress
(misalnya cortisol), yang akan mengaktifkan bagian batang otak (otak reptil),
sehingga proses berfikir menjadi terganggu.
e.
Kerjasama dengan orang tua
Orang tua
dilibatkan secara aktif didalam usaha pengembangan karakter anak. Salah satu
faktor keberhasilan pendidikan karakter adalah adanya konsistensi antara
sekolah dan rumah mengenai penerapan pilar-pilar karakter yang ditanamkan.
Bentuk kerjasama yang dilakukan dengan mengadakan sosialisasi mengenai
visi/misi dan filosofi pendidikan yang diterapkan di Sekolah, baik sebelum
orangtua mendaftarkan anaknya, maupun setelah anaknya terdaftar.
B.
KONSEP MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION (GI)
Menurut Anwar (Aisyah, 2006:14)
secara harfiah investigasi diartikan sebagai penyelidikan dengan mencatat atau
merekam fakta-fakta, melakukan peninjauan dengan tujuan memperoleh jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tentang suatu peristiwa atau sifat.Selanjutnya Krismanto
(2003:7) mendefinisikan investigasi atau penyelidikan sebagai kegiatan
pembelajaran yang memberikan kemungkinan siswa untuk mengembangkan pemahaman
siswa melalui berbagai kegiatan dan hasil yang benar sesuai pengembangan yang
dilalui siswa.
Height (Krismanto, 2003:7) menyatakan investigation berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Dengan demikian akan dapat dibiasakan untuk lebih mengembangkan rasa ingin tahu. Hal ini akan membuat siswa untuk lebih aktif berpikir dan mencetuskan ide-ide atau gagasan, serta dapat menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusinya di kelas.
Height (Krismanto, 2003:7) menyatakan investigation berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Dengan demikian akan dapat dibiasakan untuk lebih mengembangkan rasa ingin tahu. Hal ini akan membuat siswa untuk lebih aktif berpikir dan mencetuskan ide-ide atau gagasan, serta dapat menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusinya di kelas.
Model investigasi kelompok merupakan model pembelajaran yang melatih para
siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial dan melalui pengalaman,
secara bertahap belajar bagaimana menerapkan metode ilmiah untuk meningkatkan
kualitas masyarakat. Model ini merupakan bentuk pembelajaran yang
mengkombinasikan dinamika proses demokrasi dengan proses inquiry akademik.
melalui negosiasi siswa-siswa belajar pengetahuan akademik dan mereka terlibat
dalam pemecahan masalah sosial. dengan demikian kelas harus menjadi sebuah
miniatur demokrasi yang menghadapi masalah-masalah dan melalui pemecahan
masalah, memperoleh pengetahuan dan menjadi sebuah kelompok sosial yang lebih
efektif.
Selanjutnya Thelen (Joyce dan Weil, 1980:332) mengemukakan tiga konsep utama
dalam pembelajaran GI, yaitu:
a.
Inquiry
b.
Knowledge
c.
The dynamics of the learning group
Sementara itu Setiawan (2006:10) mendeskripsikan fase-fase
dalam pembelajaran GI yaitu sebagai berikut:
a.
Fase membaca, menerjemahkan, dan memahami
masalah.
Pada fase
ini siswa harus memahami permasalahnnya dengan jelas. Apabila dipandang perlu
membuat rencana apa yang harus dikerjakan, mengartikan persoalan menurut bahasa
mereka sendiri dengan jalan berdiskusi dalam kelompoknya, yang kemudian
didiskusikan dengan kelompok lain. Jadi pada fase ini siswa memperlihatkan
kecakapan bagaimana ia memulai pemecahan suatu masalah, dengan:
1)
Menginterpretasikan soal
berdasarkan pengertiannya
2)
Membuat suatu kesimpulan tentang apa yang
harus dikerjakannya.
b.
Fase pemecahan masalah.
Pada fase
ini mungkin siswa menjadi bingung apa yang harus dikerjakan pertama kali, maka
peran guru sangat diperlukan, misalnya memberikan saran untuk memulai dengan
suatu cara, hal ini dimaksudkan untuk memberikan tantangan atau menggali
pengetahuan siswa, sehingga mereka terangsang untuk mecoba mencari cara-cara
yang mungkin untuk digunakan dalam pemecahan soal tersebut, misalnya dengan
membuat gambar, mengamati pola atau membuat catatan-catatan penting. Pada fase
ini siswa diharapkan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)
Mendiskusikan dan memilih cara atau
strategi untuk menangani permasalahan
2)
Memilih dengan tepat materi yang
diperlukan
3)
Menggunakan berbagai macam strategi yang
mungkin
4)
Mencoba ide-ide yang mereka dapatkan pada
fase 1.
5)
Memilih cara-cara yang sistematis
6)
Mencatat hal-hal penting
7)
Bekerja secara
bebas atau bekerja bersama-sama (atau kedua-duanya)
8)
Bertanya
kepada guru untuk mendapatkan gambaran strategi untuk penyelesaian
9)
Membuat
kesimpulan sementara
10)
Mengecek
kesimpulan sementara yang didapat sehingga yakin akan kebenarannya
c.
Fase menjawab
dan mengkomunikasikan jawaban
Setelah memecahkan masalah, siswa harus diberikan pengertian untuk mengecek
kembali hasilnya, apakah jawaban yang diperoleh itu cukup komunikatif atau
dapat dipahami oleh orang lain, baik tulisan, gambar, ataupun penjelasannya. Pada
intinya fase ini siswa diharapkan berhasil:
1)
Mengecek hasil yang diperoleh
2)
Mengevaluasi pekerjannya
3)
Mencatat dan menginterpretasikan hasil
yang diperoleh dengan berbagai cara
4)
Mentransfer keterampilan untuk diterapkan
pada persoalan yang lebih kompleks
Sejalan dengan pendapat Setiawan di
atas, Sharen et al (Krismanto, 2003:8) mendisain model pembelajaran GI menjadi
enam tahapan, yaitu:
a.
Tahap
mengidentifikasi topik dan pengelompokan
Para siswa memilih berbagai sub topik dalam suatu wilayah masalah umum yang
biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya
diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task
oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang.Komposisi kelompok pada
pembelajaran ini heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan
akademik.
b.
Tahap
merencakan penyelidikan kelompok
Para siswa beserta guru merencakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas
dan tujuan umum yang konsisten dengan topik dan subtopik yang telah dipilih
dari langkah a. di atas
c.
Tahap
melaksakan penyelidikan
Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b.
Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan
variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber,
baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara
terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika
deperlukan.
d.
Tahap menyiapkan laporan akhir
Para siswa
menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c.
dan merencakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di
depan kelas.
e.
Tahap
menyajikan laporan
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik
yang telah dipelajari agar siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu
perspektif yang luas mengenai topik tersebut.
f.
Tahap evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok
terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi
dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok dan bahkan
kedua-duanya.
C.
PERAN GURU DALAM MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION (GI)
Setiawan (2006:12)
mendeskripsikan peranan guru dalam pembelajaran GI sebagai berikut:
a.
Memberikan
informasi dan instruksi yang jelas
b.
Memberikan
bimbingan seperlunya dengan menggali pengetahuan siswa yang menunjang pada
pemecahan masalah (bukan menunjukan cara penyelesaianya)
c.
Memberikan
dorongan sehingga siswa lebih termotivasi
d.
Menyiapkan
fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh siswa
e.
Memimpin
diskusi pada pengambilan kesimpulan akhir
D. KELEBIHAN PEMBELAJARAN GI
Setiawan (2006:9)
mendeskripsikan beberapa kelebihan dari pembelajaran GI, yaitu sebagai berikut:
a.
Secara Pribadi
1)
dalam proses
belajarnya dapat bekerja secara bebas
2)
memberi
semangat untuk berinisiatif, kreatif, dan aktif
3)
rasa percaya
diri dapat lebih meningkat
4)
dapat belajar
untuk memecahkan, menangani suatu masalah
b.
Secara Sosial / Kelompok
1)
meningkatkan
belajar bekerja sama
2)
belajar berkomunikasi
baik dengan teman sendiri maupun guru
3)
belajar
berkomunikasi yang baik secara sistematis
4)
belajar
menghargai pendapat orang lain
5)
meningkatkan
partisipasi dalam membuat suatu keputusan
E.
KEKURANGAN MODEL BELAJAR GI
Pembelajaran dengan
model Group Investigation (GI) mempunyai kelemahan:
a.
Sedikitnya
materi yang tersampaikan pada satu kali pertemuan
b.
Sulitnya memberikan
penilaian secara personal
c.
Tidak semua
topik cocok dengan model pembelajaran GI, model pembelajran GI cocok untuk
diterapkan pada suatu topik yang menuntut siswa untuk memahami suatu bahasan
dari pengalaman yang dialami sendiri
d.
Diskusi
kelompok biasanya berjalan kurang efektif
Berdasarkan pemaparan
mengenai model pembelajaran GI tersebut, jelas bahwa model pembelajaran GI
mendorong siswa untuk belajar lebih aktif dan lebih bermakna. Artinya
siswa dituntut selalu berfikir tentang suatu persoalan dan mereka mencari
sendiri cara penyelesaiannya. Dengan demikian mereka akan lebih terlatih untuk
selalu menggunakan keterampilan pengetahuannya, sehingga pengetahuan dan
pengalaman belajar mereka akan tertanam untuk jangka waktu yang cukup lama
(Setiawan, 2006:9).
Hal ini sesuai dengan pendapat Pieget (Sagala,
2007:24) bahwa dalam proses perkembangan dan pertumbuhan kognitif anak terjadi
proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi merupakan penyesuaian atau
mencocokan informasi yang baru dengan apa yang telah ia ketahui. Sedangkan
proses akomodasi adalah anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa
yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru itu dapat
disesuaikan dengan lebih baik. Sementara itu menurut Suherman (2003:36) bahwa
proses asimilasi dan akomodasi merupakan perkembangan skemata. Skemata tersebut
membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak.
Kemudian jika dilihat
dari fase-fase pembelajaran GI, terlihat adanya proses interaksi antara siswa
dalam pembelajaran, memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara
berkelompok dalam menyelidiki, menemukan, dan memecahkan masalah. Dengan
demikian diharapkan kompetensi penalaran siswa dapat lebih baik.Hal ini sesuai
dengan pendapat Pieget (Sagala, 2007:190) bahwa pertukaran gagasan-gagasan
tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran.walaupun penalaran tidak
dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat distimulasi oleh
konfrontasi kritis, khususnya dengan teman-teman setingkat. Oleh karena itu
diharapkan dengan menggunakan model pembelajaran GI ini, kompetensi penalaran
siswa dapat lebih baik daripada pembelajaran secara ekspositori.
Berdasarkan pemaparan mengenai model pembelajaran GI
tersebut, dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran GI mendorong siswa untuk belajar lebih aktif dan lebih
bermakna. Artinya siswa dituntut selalu berfikir tentang suatu persoalan dan
mereka mencari sendiri cara penyelesaiannya. Dengan demikian mereka akan lebih
terlatih untuk selalu menggunakan keterampilan pengetahuannya, sehingga
pengetahuan dan pengalaman belajar mereka akan tertanam untuk jangka waktu yang
cukup lama
F.
PEMBELAJARAN
IPS
Pendidikan
IPS yang dikatakan sebagai pendidikan nilai harus dilakukan revitalisasi.
Pendidikan tanpa perspektif pendidikan nilai, tanpa menekankan pada
pengembangan karakter siswa, akan kehilangan esensinya sebagai proses
pendidikan yang sejati. Perlu pemikiran dan upaya untuk memposisikan esensi
serta hakikat pendidikan secara tepat. Program pendidikan IPS atau mata
pelajaran apapun juga harus menempatkan UU Sisdiknas sebagai rujukan normatif
tertinggi bagi penyelenggaraan sistem pendidikan nasional secara utuh. Penyelenggaraan
pendidikan selama ini telah kehilangan ruh dan aspek moralitas, sehingga tidak
jarang melahirkan kultur yang tidak sehat. Muncullah perilaku ketidakjujuran
dalam pendidikan, seperti yang terjadi kasus pada UN, ijazah palsu, perjokian,
plagiat, lemahnya internalisasi nilai pendidikan dan terfragmentasinya ranah
-ranah pendidikan yang lebih didominasi ranah kognitif .
Proses
pembelalajaran IPS sebagaimana pembelajaran pada umumnya, harus dibangun
sebagai sebuah proses transaksi kultural yang harus mengembangkan karakter
sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan Ipteks pada umumnya.
Pelaksanaan pendidikan saat ini yang lebih didominasi oleh praktek pendidikan
di tingkat individual yang cenderung kognitif-intelektualistik, perlu diarahkan
kembali sebagai wahana pengembangan pendidikan karakter bangsa, sebagai proses
pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik secara utuh sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional.
Dalam mendisain kurikulum pendidikan IPS, termasuk dalam
proses pembelajarannya, harus juga berangkat dari hakikat dan karakter peserta
didik, bukan berorientasi pada materi semata. Pendekatan esensialisme sudah
saatnya untuk dimodifikasi dengan teori rekonstruksi sosial yang mengacu pada
teori pendidikan interaksional (Sukmadinata, 1996:6). Sesuai dengan tuntutan
zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat, pembelajaran IPS harus
dikembalikan sesuai dengan khitah konseptualnya yang bersifat terpadu yang
menekankan pada interdisipliner dan trasdisipliner, dengan pembelajaran yang
kontekstual dan transformatif, aktif dan partisipatif dalam perpektif nilai-
nilai sosial kemasyarakatan.
Sesuai dengan maksud dan tujuannya, pembelajaran IPS
harus memfokuskan perannya pada upaya mengembangkan pendidikan untuk menjamin
kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungannya. Pembelajaran IPS diarahkan
untuk melahirkan pelaku-pelaku sosial yang berdimensi personal (misalnya,
berbudi luhur, disiplin, kerja keras, mandiri), dimensi sosiokultural
(misalnya, cinta tanah air, menghargai dan melestarikan karya budaya sendiri,
mengembangkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, kepedulian
terhadap lingkungan), dimensi spiritual (misalnya, iman dan taqwa, menyadari
bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta), dan dimensi intelektual
(misalnya, cendekia, terampil, semangat untuk maju). Kompetensi personal
merupakan kemampuan dasar yang berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan
kepribadian diri peserta didik sebagai makhluk individu yang merupakan hak dan
tanggung jawab personalnya. Orientasi dasar pembentukan dan pengembangan
kompetensi personal ini ditekankan pada upaya pengenalan diri dan pembangunan
kesadaran diri peserta didik sebagai pribadi/individu dengan segala potensi,
keunikan dan keutuhan pribadinya yang dinamis.
Sejumlah
kompetensi yang personal ke-IPS-an yang perlu dikembangkan misalnya,
pembentukan konsep dan pengertian diri, sikap objektif terhadap diri sendiri,
aktualisasi diri, kreativitas diri, kemandirian itu sendiri, termasuk bagaimana
menumbuhkembangkan budi pekerti luhur, disiplin dan kerja keras serta sebagai
makhluk ciptaan Tuhan YME, sehingga perlu menumbuhkembangkan dan memantapkan
keimanan dan ketaqwaannya. Kompetensi sosial adalah kemampuan dasar yang
berkaitan dengan pengembangan kesadaran sebagai makhluk sosial dan makhluk yang
berbudaya. Sejumlah kompetensi dasar yang dikembangkan adalah kesadaran dirinya
sebagai anggota masyarakat sehingga perlu saling menghormati dan mengharagai;
pemahaman dan kesadaran atas kesantunan hidup bermasyarakat dan berbangsa;
kemampuan berkomunikasi dan kerja sama antara sesama; sikap pro-sosial atau
altruisme; kemampuan dan kepedulian sosial termasuk lingkungan; memperkokoh
semangat kebangsaan, pemahaman tentang perbedaan dan kesederajatan dalam.
Kompetensi intelektual, merupakan kemampuan berpikir yang
didasarkan pada adanya kesadaran atau keyakinan atas sesuatu yang baik yang
bersifat fisik, sosial, psikologis, yang memiliki makna bagi dirinya maupun
orang lain. Kemampuan dasar intelektual ini berkaitan dengan pengembangan jati
diri para peserta didik sebagai mahkluk berpikir yang daya pikirnya untuk
menerima dan memproses serta membangun pengetahuan, nilai dan sikap, serta
tindakannya baik dalam kehidupan personal maupun sosialnya. Kemampuan
mengidentifikasi masalah sosial, merumuskan masalah sosial dan memecahkan
masalah itu sebagai ciri penting dalam kemampuan berpikir. Ketiga kompetensi
dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya itulah yang yang harus
dibangun melalui pembelajaran IPS, sehingga melahirkan pelaku-pelaku sosial
yang mumpuni. Para pelaku sosial itu harus dapat membangun sikap dan perilaku
dengan berbagai dimensinya, memahami hak dan kewajibannya, kemudian memiliki
kepekaan untuk memahami, menyikapi dan ikut berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah
sosio-kebangsaan yang ada.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS
PENELITIAN
Jenis
penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). ”Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) adalah suatu penelitian tindakan (action research) yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai
peneliti di kelasnya atau bersama-sama dengan orang lain (kolaborator) dengan
jalan merancang, melaksanakan atau tindakan, mengobservasi dan merefleksikan
tindakan secara kolaboratif dan partispatif yang bertujuan untuk memperbaiki
atau meningkatkan mutu (kualitas) pembelajaran di kelas melalui suatu tindakan
tertentu dalam suatu siklus” (Kunandar, 2008:45).
Desain
penelitian yang digunakan mengacu pada model Kemmis dan M.C. Taggart (Arikunto,
Suharsimi, 2009:16) yang terdiri dari 4 komponen yaitu: perencanaan, tindakan,
observasi, dan refleksi. Diagram
alur desain penelitian ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 1
Tahap-tahap Penelitian Tindakan Kelas menurut Kemmis
dan Mc.Taggart
Pada tahap
tindakan perencanaan peneliti bersama mitra peneliti (observer) melakukan identifikasi masalah-masalah pembelajaran.
Peneliti melakukan observasi kelas dan melakukan wawancara kepada guru kelas,
kemudian melakukan diskusi untuk dapat menemukan masalah yang dianggap paling
mendesak untuk diatasi melalui penelitian tindakan kelas. Setelah permasalahan
pembelajaran teridentifikasi, dilakukan penyusunan perangkat pembelajaran
seperti menyusun RPP, mengembangkan media pembelajaran, dan menyusun instrumen
penilaian pembelajaran.
Pada tahap
pelaksanaan tindakan yaitu menerapkan RPP yang telah dibuat dalam pembelajaran
di kelas. Praktik pembelajaran ini dilakukan sesuai dengan tahapan yang
direncanakan dalam RPP. Pada tahap tindakan ini mulai diajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada siswa untuk mendorong mereka mengatakan apa yang
mereka pahami dan apa yang mereka minati.
Pada tahap
observasi dilakukan pengamatan jalannya proses pembelajaran, mencatat
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa, mencatat gejala-gejala yang tampak dalam
proses pembelajaran, merekam jalannya proses pembelajaran, dan akibat-akibat
yang tampak dalam proses pembelajaran.
Pada tahap
refleksi ini merupakan tindakan yang dilakukan peneliti dengan mitra peneliti (observer) dalam kerangka menemukan
kelemahan dan kekurangan pada praktik pembelajaran yang dilakukan untuk mencari
pemecahan maupun penguatan-penguatan terhadap pembelajaran yang masih dipandang
kurang optimal. Tujuannya adalah untuk menemukan perbaikan-perbaikan apa yang
perlu dilakukan pada proses pembelajaran pada siklus berikutnya.
Tindakan
pembelajaran yang akan dilaksanakan pada penelitian ini ada dua siklus, dalam
satu siklus terdiri tiga pertemuan. Pengalaman dalam praktik pembelajaran yang
terjadi pada siklus I seperti kualitas RPP yang dibuat, langkah-langkah
pembelajarannya, aktivitas belajar siswa, efektivitas pencapaian tujuan
pembelajaran, dan penilaian dijadikan bahan refleksi untuk memperoleh
gagasan-gagasan perbaikan praktik pembelajaran pada siklus berikutnya. Hasil
refleksi pada siklus I diperbaiki melalui rencana perbaikan pada siklus II dan
seterusnya.
B. SUBJEK PENELITIAN
Subjeki
penelitian ini ialah siswa kelas
tinggi SDN Jinglong 01 Kabupaten Blitar Tahun Ajaran 2012/2013.
C. DATA
DAN SUMBER
DATA
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa (1)
nilai tes akhir pada tahap pra tindakan, (2) nilai hasil yang berupa lembar
kerja siswa (LKS) pada setiap pertemuan dan tes akhir pada tiap siklus, dan (3)
hasil observasi aktivitas siswa dan guru, serta dokumentasi berupa Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), format penilaian lembar kerja siswa (LKS),
format penilaian tes akhir pembelajaran, catatan lapangan, gambar foto yang
berkaitan dengan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran
tujuh bintang.
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa dan guru
kelas tinggi SDN Jinglong 01 Kabupaten Blitar.
D. PENGUMPULAN
DATA
Prosedur
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan empat cara yaitu sebagai
berikut:
1.
Observasi
Observasi
merupakan proses pengamatan dan
pencatatan secara sistematis, logis, objektif, dan rasional mengenai berbagai
fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan untuk
mencapai tujuan tertentu. Observasi dilakukan bersamaan dengan implementasi
tindakan mulai dari awal sampai akhir. Observasi dalam penelitian ini
difokuskan pada observasi aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran dan
observasi aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran
Group Investigation (GI)
2.
Tes
Tes adalah
latihan yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan, kemampuan atau
bakat yang dimiliki individu/kelompok. tes digunakan
untuk mengumpulkan data tentang peningkatan hasil belajar. Tes yang digunakan
dalam penelitian adalah tes akhir yang dilakukan pada tiap siklus. Jenis tes
yang digunakan adalah tes tulis tipe subjektif.
3.
Pemberian angket
Angket
adalah alat untuk mengumpulkan dan mencatat data atu informasi, pendapat, dan
paham dalam hubungan kausal. Sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
siswa bertujuan untuk mengetahui tanggapan siswa tentang pembelajaran setelah
menggunakan model model pembelajaran Group Investigation (GI). Selain
itu juga untuk mengetahui hambatan informasi dari responden dalam arti laporan
tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya.
4.
Dokumentasi
Dokumentasi
merupakan pengabadian suatu peristiwa penting dengan film, gambar, tulisan,
prasasti,dan sebagainya . Dokumentasi yang dibutuhkan peneliti adalah data nama
siswa kelas III, data hasil tes tiap siklus, dan foto pada saat peneliti
melaksanakan KBM dengan model model pembelajaran Group Investigation
(GI). Pengambilan foto menggunakan kamera yang difokuskan pada pelaksanaan
komponen-komponen model model pembelajaran Group Investigation (GI).
E. ANALISIS
DATA
Proses penganalisisan data penelitian ini berpedoman pada
langkah-langkah analisis data penelitian kualitatif. Langkah-langkah analisis
data tersebut antara lain:
1. Reduksi
data
Reduksi data
dilakukan setelah data terkumpul. Reduksi data
adalah proses menyeleksi atau pemilihan data yang sudah terkumpul, memfokuskan,
dan menyederhanakan data sampai penyusunan data.
2. Penyajian
data
Penyajian data dilakukan untuk
mengorganisasikan hasil reduksi dengan menyusun semua informasi yang diperoleh
dari hasil reduksi sampai memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Informasi yang dimaksud adalah uraian proses kegiatan
pembelajaran, respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran, dan hasil yang
diperoleh sebagai akibat dari pemberian tindakan.
3. Penarikan
kesimpulan
Penarikan
kesimpulan adalah pengambilan intisari dan sajian data yang telah terorganisasi
dalam bentuk pernyataan atau kalimat yang singkat, padat, dan bermakna. Hasil analisis ini akan dijadikan dasar untuk menentukan
keberhasilan pemberian tindakan. Selain itu, analisis data ini akan digunakan
dasar untuk melaksanakan tindakan selanjutnya jika pemberian tindakan
sebelumnya belum berhasil.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, dkk. 2009.
Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:
Bumi Aksara.
B. Uno, Hamzah. 2007. Model Pembelajaran (Menciptakan Proses
Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif). Jakarta : PT. Bumi Aksara.
BSNP. 2007. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan: Mata Pelajaran IPS Tingkat SD. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara
Joyce, Bruce and Weil, Marsha. 1996. Models of Teaching. Boston : Allyn and Bacon.
Kasihani. 2009. Model-model Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang.
Kunandar. 2008. Langkah
Mudah Penelitian Tindakan Kelas untuk Meningkatkan Kinerja Guru dan Dosen.
Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Karakteristik, dan Implementasinya.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2007. Menjadi Guru Profesional (Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan). Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran (Berorientasi Standar Proses Pendidikan).
Jakarta : Prenada Media Group.
Sapriya. 2009. Pendidikan
IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Setiono, Lilik. 2010. Model
Pembelajaran Tujuh Bintang. (Online), (http://lilik setiono/wordpress.com/2010/08/12), diakses 24 Januari 2013.
Somantri, M. Numan. 2001. Menggagas
Pembaharuan Pendidikan IPS.Bandung:
Sukmadinata, Nana Syaodih.2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Penerbit: PT. Remaja Rosda
Karya.
Supriya. 2009. Pendidikan
IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosda karya offset.
Suyanto, Kasiani, K., E. 2008. Model Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang.
Trianto. 2007. Model-model
Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep Landasan
Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
W. Gulo 2005. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Grasindo.
Winataputra, Udin, S., dkk. 2008. Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Zainuddin, M. 2010. Membentuk karakter anak melalui
pendidikan IPS. Malang: UM Press.